Di daerah kami, Pulau Timor dan sekitarnya, kami mengenal sejenis ilmu sihir yang kami sebut ’suanggi’, semisal santet atau teluh di Pulau Jaw atau ’leak’ di Bali. Suanggi adalah hasil ”persahabatan” manusia dengan kuntilanak. Setidaknya itu yang menjadi keyakinan masyarakat selama ini.
Seseorang yang memiliki ilmu suanggi, biasanya ia gunakan kemampuannya itu kepada orang lain yang tak disenanginya. Orang yang mimilki suanggi biasanya mudah dikenali dari bola matanya yang selalu memerah, terlihat kotor dan bermuka kusam. Pola hidupnya yang aneh dalam masyarakat. Mereka juga punya kebiasaan menari telanjang ketika bulan purnama tepat tengah malam.
Sudah banyak pelaku suanggi yang dikucilkan, dipukuli, rumahnya dibakar, bahkan ada yang diceburkan rama-ramai ke laut. Namun itu semua tidak membuat jera orang unuk menuntut ilmu hitam itu.
Selama ini keluarga kami tidak pernah mengalami sakit akibat disuanggi orang. Hingga sampai pada awal Juni lalu, Marwiyah, istri kakak saya terserang sakit tiba-tiba. Sehari kemudian, karena panas badanya makin tinggi, ditambah sakit yang melilit perutnya, yang kami membawanya ke RSU di Kupang. Dari pemeriksaan dokter dan hasil lab, menunjukkan ada gejala tipes, tapi tak perlu dirawat. Menurut dokter, ia hanya perlu istirahat dan makan yang baik supaya kembali fit.
Dua hari kemudian, waktu magrib, setelah ia makan dan minum, tiba-tiba perutnya sakit melilit. Seketika ia tak mampu lagi berjalan. Tak menunggu lama, kami langsung membawanya ke rumah sakit umum lagi. Setelah memberikan perawatan pertama dokter langsung menyarankan agar dia dirawat, belum ada pernyatan resmi dari RS soal sakit yang dideritanya. Jelang subuh, saat buang air besar perutnya kembali terasa sakit. Yang keluar kemudian hanya dua butir kotoran sebesar kelereng berwarna coklat kehitaman. Siangnya, dari hasil pemerikasaan darah, USG dan CT-scan, ia dinyatakan normal.
Meski belum fit, kami memutuskan untuk membawa kakak pulang. Itu karena menurut dokter, ia tak apa-apa dan badan yang lemas itu karena ia kekurangan garam. Dikter menyarankan agar banyak makan ikan asin atau telor asin.
Ternyata tak sembuh juga. Selama ia sakit, keriangan di rumah kakak kami terasa senyap. Emosi seisi rumah sulit tertata. Kakak kandung kami, gampang jengkel dan marah sedangkan istrinya yang sakit itu itu juga terlihat putus asa. Itu karena sudah beragam obat ia telan, namun tanda-tanda untuk sembuh tak tampak. Bahkan, sakitnya makin beragam, panas-dingin, perut sering mules dan melilit, kepala terasa sakit dan berat dan pada jam-jam tertentu tulang punggung dan persendian terasa mau lepas dan sakit kalau ditekuk. Bahkan berat badannya turun hingga 10 kilogram.
Tentang sakit kakak kami ini, banyak orang dan beberapa ”orang pintar” punya kesimpulan yang sama ”dibikin orang”. Lalu, bagaimana obatnya” ”Ya harus orang pintar juga”, begitu saran semua orang. Akhirnya, beberapa orang yang dianggap ”pintar” kami datangkan ke rumah. Ada pula yang kami datangi untuk bertanya ini-itu. Hasilnya? Sama saja, tak ada perubahan, bahkan sakitnya makin menjadi-jadi.
Suatu pagi, seorang tetangga datang beri informasi. Bahwa ada seorang ustad yang baru tiba dari Surabaya untuk suatu keperluan. Pak Ustad kebetulan sudah dikenal lama oleh suami si tetangga di surabaya sebagai ”orang pintar”. ”Gratis, yang penting kita percaya. Hanya saja kita harus bersabar karena pak ustad itu gampang-gampang sulit,” ujar tetangga itu.
Stelah ditemui siangnya, malamnya Pak Ustad yang baru dua hari tiba dari Surabaya itu datang. ”Mungkin Anda semua diminta Tuhan untuk lebih banyak bersedekah kepada fakir miskin,” begitu nasihat pertama Pak Ustad setelah melihat kondisi kakak kami. Spontan kami seisi rumah mengiyakan tak keberatan.
Pak Ustad kemudian membenarkan, bahwa kakak kami ”dibikin” orang. Pengobatannya tak bisa ditunda, harus sekarang juga. Si ustad meminta kami untuk mengosongkan sebuah kamar yang lebih dekat dengan kamar tempat kakak kami berada. Ustad meminta beberapa sajadah untuk digelar. Di dalam kamar yang gelap dan hanya diterangi sebuah lilin Pak Ustad berzikir sendirian. Setelah hampir sejam Pak Ustad Keluar. ”Insya Allah, penyakit Ibu Marwiyah bisa terasa,” kata Pak Ustad membuat hati kami terasa lega.
Semenit kemudian, ketika kami masih dalam keheningan, tiba-tiba terdengar bunyi seperti perabot dapur dibanting dari dalam kamar tempat Pak Ustad berzikir tadi yang masih gelap itu. Pak Ustad kemudian membuka pintu kamar sambil mengucap salam, ”assalamu’alaikum”. Lampu kemudia dinyalakan lalu kami dipersilahkan melihat apa yang baru saja terjadi. Masya Allah..! di tengah kamar ada segunduk tanah merah yang masih basah dengan beberapa bekas telapak kaki yang mengarah ke jendela seukuran anak tiga tahun. Anehnya, hanya ada tiga jari pada telapak kaki itu. ”Pemilik telapak kaki ini adalah mahluk yang dikirim seseorang untuk membunuh salah satu dari suami istri di rumah ini. Dalam keadaan tertatih-tatih, kakak kami lalu disuruh sholat taubat dua rakaat. Setelah itu Pak Ustad membacakan sebuah ayat yang menerangkan azab dan siksa neraka bagi orang yang melakukan sihir dan tenung.
Pada malam berikutnya, Pak Ustad dapat mengambil segunduk tanah coklat kehitaman dan dua butir telur ayam dari samping rumah kami. Pak Ustad menjelaskan, tanah itu adalah tanah kuburan sedangkan dua telur itu di tanam bersamaan dengan tanah itu. Jika salah satunya pecah berarti salah satu nyawa dari kakak kami ada yang melayang. Kedua telur itu akhirnya dipecahkan sendiri oleh Pak Ustad.
Di malam ketiga, kami lebih tercengang lagi. Dari dalam kamar itu Pak Ustad dapat mengambil sebuah boneka yang terbuat dari anyaman daun lontar, kayu dan kain berukuran setengah meter. Boneka itu berlumuran tanah merah basah dengan posisi perut, kaki dan tangan agak ditekuk. ”Ini yang membuat perut, kaki dan tangn ibu sakit,” kata Pak Ustad. Kakak kami lalu disuruhnya melangkahi boneka dan gundukan tanah itu sampabil membaca ”innaa lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun.”
Sejak boneka itu diambil, kesehatan kakak kami mulai membaik. Dia tak lagi demam, perut dan persendiannya juga tak sakit lagi. Hanya saja badannya masih lemas dan tak bertenaga. Pak Ustad kemudia menyarankan agar kakak kami itu dibawa ke dokter. Dari dokter akhirnya bisa diketahui bahwa kakak kami itu menderita penyakit maag. Hanya itu saja yang perlu diobati. Selanjutnya, pikirannya perlu ditata kembali sehingga semangatnya timbul kembali.
Sehari sebelum Pak Ustad pulang ke Surabaya, dia sempatkan diri mengunjungi kami. Menurut Pak Ustad, sebenarnya dia bisa menunjukkan siapa orang yang ”membikin” kakak kami itu. Hanya saja, itu akan merusak silahturahmi kami. Pak Ustad hanya memberikan nasihat agar supaya terhindar dari segala kejahatan sihir, tenung dan sebagainya, kita harus meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. Perbanyak mengaji, sedekah dan sebagainya. Sebenarnya kami sudah sudah siapkan sedikit oleh-oleh untuk Pak Ustad dan keluarganya di Surabaya namun ia menolaknya. Malah kami dihadiahi sebuah buku yang diselipkan sebuah tulisan tangan Pak Ustad. Ia mengutip doa Imam Ali Zainal Abdin: ”Tuhan, aku tidak tahu, mana yang lebih aku syukuri, sakit atau kesehatan. Karena ketika aku sakit, aku berhenti berbuat nista dan aku jadi memiliki banyak waktu untuk berzikir kepad-Mu. Aku juga punya banyak waktu utuk bertafakur dan merenungkan kehidupan.”