PENCURI KUE DI BANDARA EL TARI
Pukul
Baru
Tanpa ku duga, si ibu mengambil satu kue dari sampingku. Walau kaget, saya mencoba menahan emosi dengan pura-pura tak melihat kelakuannya. Saya mengambil satu kue tanpa menoleh ke kotak kue, mengunyahnya dengan sedikit lebih cepat, mendorongnya ke dalam perut dengan air, sesekali saya melihat jam dinding di depanku. Sementara ibu “si pencuri” kue ku ini terus mengambil kue di samping ku. Saya ambil satu, dia ambil satu, saya comot dua, dia juga comot dua. Saya berpikir, kurang ajar benar si ibu ini. Kalau saja saya bukan orang baik-baik dan tidak lebih muda dari dia, sudah kuhardiknya. Ketika kue tinggal satu, “si pencuri” ini mengambil kue terakhir itu dan membaginya menjadi dua. Separuh dimakannya dan separuhnya diberikan padaku sambil senyum yang kurasa hambar sekali. Dengan cepat kuambil kue yang separuh itu dan kulenyapkan dalam mulut dengan sekali suap. “Ya Tuhan, ibu ini berani sekali! Tidak sopan dan tidak berterimakasih,” batin saya dalam hati.
Pengumuman penerbangan akhirnya sedikit mengurangi perasaan dongkolku. Saya mengumpulkan barang-barang dan cepat melangkah ke pintu masuk tanpa menoleh ke “si pencuri” kue ku itu. Di kursi dalam pesawat saya langsung mengenakan sabuk pengaman, merebahkan kepala dan memejamkan mata sambil menarik napas panjang.
Setelah pramugari mengumumkan boleh melepaskan sabuk pengaman, saya mengambil buku dari dalam paper bag. Saya kaget bukan kepalang, jantungku berdetak keras, dadaku terasa penuh. Kueku masih utuh, tak kurang satupun. Ternyata kue tadi milik ibu itu dan dia telah berbagi denganku.
Jadi, sayalah pencuri kue ibu itu. Sayalah yang kasar, kurang ajar, tidak sopan dan tidak berterima kasih. Terlambat sudah saya minta maaf. Saya sengaja berjalan ke toilet pesawat dari depan ke belakang sambil mencari ibu itu, mungkin berada di pesawat ini. Nihil. Ibu yang baik hati itu tak ada. Mungkin ia dengan pesawat berikutnya atau mungkin ia tidak ke
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda