Senin, 24 November 2008

SENJA DI TELUK KUPANG

SENJA DI TELUK KUPANG

Mata teduhmu

Adalah laut senja dan lembayung di Teluk Kupang

Tenang tak beriak

Mata taduhmu

Adalah kelap-kelip lampu bagan ketika malam bergelayut

Mata yang memanjat keruk karang Kota Kupang

Mata yang tak sabar menunggu

Kabar apakah yang ingin kau dengar

Dari seekor camar gusar di rantau?

Mata teduhmu

Selalu memanggil camar pulang

Agar jangan lagi cemarkan laut Pukuafu

Agar jangan lagi hanguskan padang sabana Nusa Lontar

Camar yang punya setumpuk rencana itu

Kini rebah di dekapan mata teduhmu

Bercerita tentang sederet kisah rantau

Dengan lidah dan tubuh yang lelah

Seperti sebilah pelepah lontar kering

Merapuh dalam rindu

Pada semilir angin senja di Teluk Kupang

Camar itu tak mudah pergi lagi

Percayalah..!

Karena mata teduhmu telah mengikat tubuh camar itu

Menyatu dalam ayunan teluk lenggang

Seperti senja ini di Teluk Kupang

Mata teduhmu

Mengejar sebuah harapan

Laksana ratusan kepiting di pasir putih

Berarak menuju karang di Teluk Kupang

Camar itu tak sabar menurunkan layar

Melabuhkan sauh

Menapaki tangga dermaga

Di matanya selalu terbayang

Sebuah kebun madu di terusan Oesapa

Tempat camar itu menjadi imam

Bagi sepasang mata teduh di balik kerudung putih

Dalam senja berulang senja

Di Teluk Kupang

Selasa, 11 November 2008

PENCURI KUE DI BANDARA EL TARI

Pukul lima pagi, ojek yang membawaku dari Jl. Esa Nita, Oesapa, Kupang dengan cepat sampai ke Bandara El Tari. Kurang dari sejam lagi, pesawat akan membawaku ke Jakarta. Karena belum sarapan, saya membeli sebotol air mineral dan sekantong kue di satu-satunya kafe di pelataran bandara itu. Setelah boarding pass di tangan, saya langsung mencari tempat duduk di ruang tunggu. Waktu penerbangan tinggal 45 menit lagi. Agar tidak jenuh saya membaca buku yang baru kemarin dibeli mal Flobamora.

Baru lima menit membaca, datang seorang ibu setengah baya, berkacamata minus, berbusana kerja berpadu berkerudung. Dari busananya, tampaknya ibu ini seorang pegawai negeri sipil. Ia langsung duduk di sampingku, setelah sebelumnya memberi senyum kecil dan anggukan tanda permisi kepadaku. Saya terus membaca tanpa pedulikan si ibu.

Tanpa ku duga, si ibu mengambil satu kue dari sampingku. Walau kaget, saya mencoba menahan emosi dengan pura-pura tak melihat kelakuannya. Saya mengambil satu kue tanpa menoleh ke kotak kue, mengunyahnya dengan sedikit lebih cepat, mendorongnya ke dalam perut dengan air, sesekali saya melihat jam dinding di depanku. Sementara ibu “si pencuri” kue ku ini terus mengambil kue di samping ku. Saya ambil satu, dia ambil satu, saya comot dua, dia juga comot dua. Saya berpikir, kurang ajar benar si ibu ini. Kalau saja saya bukan orang baik-baik dan tidak lebih muda dari dia, sudah kuhardiknya. Ketika kue tinggal satu, “si pencuri” ini mengambil kue terakhir itu dan membaginya menjadi dua. Separuh dimakannya dan separuhnya diberikan padaku sambil senyum yang kurasa hambar sekali. Dengan cepat kuambil kue yang separuh itu dan kulenyapkan dalam mulut dengan sekali suap. “Ya Tuhan, ibu ini berani sekali! Tidak sopan dan tidak berterimakasih,” batin saya dalam hati.

Pengumuman penerbangan akhirnya sedikit mengurangi perasaan dongkolku. Saya mengumpulkan barang-barang dan cepat melangkah ke pintu masuk tanpa menoleh ke “si pencuri” kue ku itu. Di kursi dalam pesawat saya langsung mengenakan sabuk pengaman, merebahkan kepala dan memejamkan mata sambil menarik napas panjang.

Setelah pramugari mengumumkan boleh melepaskan sabuk pengaman, saya mengambil buku dari dalam paper bag. Saya kaget bukan kepalang, jantungku berdetak keras, dadaku terasa penuh. Kueku masih utuh, tak kurang satupun. Ternyata kue tadi milik ibu itu dan dia telah berbagi denganku.

Jadi, sayalah pencuri kue ibu itu. Sayalah yang kasar, kurang ajar, tidak sopan dan tidak berterima kasih. Terlambat sudah saya minta maaf. Saya sengaja berjalan ke toilet pesawat dari depan ke belakang sambil mencari ibu itu, mungkin berada di pesawat ini. Nihil. Ibu yang baik hati itu tak ada. Mungkin ia dengan pesawat berikutnya atau mungkin ia tidak ke Jakarta. Betapa menyesalnya saya. Saya telah berprasangka buruk dan mencoba menilai buruk orang lain dengan prasangka saya. Astagfirullah. Ya Allah, ampunilah saya.

SUANGGI

Di daerah kami, Pulau Timor dan sekitarnya, kami mengenal sejenis ilmu sihir yang kami sebut ’suanggi’, semisal santet atau teluh di Pulau Jaw atau ’leak’ di Bali. Suanggi adalah hasil ”persahabatan” manusia dengan kuntilanak. Setidaknya itu yang menjadi keyakinan masyarakat selama ini.

Seseorang yang memiliki ilmu suanggi, biasanya ia gunakan kemampuannya itu kepada orang lain yang tak disenanginya. Orang yang mimilki suanggi biasanya mudah dikenali dari bola matanya yang selalu memerah, terlihat kotor dan bermuka kusam. Pola hidupnya yang aneh dalam masyarakat. Mereka juga punya kebiasaan menari telanjang ketika bulan purnama tepat tengah malam.

Sudah banyak pelaku suanggi yang dikucilkan, dipukuli, rumahnya dibakar, bahkan ada yang diceburkan rama-ramai ke laut. Namun itu semua tidak membuat jera orang unuk menuntut ilmu hitam itu.

Selama ini keluarga kami tidak pernah mengalami sakit akibat disuanggi orang. Hingga sampai pada awal Juni lalu, Marwiyah, istri kakak saya terserang sakit tiba-tiba. Sehari kemudian, karena panas badanya makin tinggi, ditambah sakit yang melilit perutnya, yang kami membawanya ke RSU di Kupang. Dari pemeriksaan dokter dan hasil lab, menunjukkan ada gejala tipes, tapi tak perlu dirawat. Menurut dokter, ia hanya perlu istirahat dan makan yang baik supaya kembali fit.

Dua hari kemudian, waktu magrib, setelah ia makan dan minum, tiba-tiba perutnya sakit melilit. Seketika ia tak mampu lagi berjalan. Tak menunggu lama, kami langsung membawanya ke rumah sakit umum lagi. Setelah memberikan perawatan pertama dokter langsung menyarankan agar dia dirawat, belum ada pernyatan resmi dari RS soal sakit yang dideritanya. Jelang subuh, saat buang air besar perutnya kembali terasa sakit. Yang keluar kemudian hanya dua butir kotoran sebesar kelereng berwarna coklat kehitaman. Siangnya, dari hasil pemerikasaan darah, USG dan CT-scan, ia dinyatakan normal.

Meski belum fit, kami memutuskan untuk membawa kakak pulang. Itu karena menurut dokter, ia tak apa-apa dan badan yang lemas itu karena ia kekurangan garam. Dikter menyarankan agar banyak makan ikan asin atau telor asin.

Ternyata tak sembuh juga. Selama ia sakit, keriangan di rumah kakak kami terasa senyap. Emosi seisi rumah sulit tertata. Kakak kandung kami, gampang jengkel dan marah sedangkan istrinya yang sakit itu itu juga terlihat putus asa. Itu karena sudah beragam obat ia telan, namun tanda-tanda untuk sembuh tak tampak. Bahkan, sakitnya makin beragam, panas-dingin, perut sering mules dan melilit, kepala terasa sakit dan berat dan pada jam-jam tertentu tulang punggung dan persendian terasa mau lepas dan sakit kalau ditekuk. Bahkan berat badannya turun hingga 10 kilogram.

Tentang sakit kakak kami ini, banyak orang dan beberapa ”orang pintar” punya kesimpulan yang sama ”dibikin orang”. Lalu, bagaimana obatnya” ”Ya harus orang pintar juga”, begitu saran semua orang. Akhirnya, beberapa orang yang dianggap ”pintar” kami datangkan ke rumah. Ada pula yang kami datangi untuk bertanya ini-itu. Hasilnya? Sama saja, tak ada perubahan, bahkan sakitnya makin menjadi-jadi.

Suatu pagi, seorang tetangga datang beri informasi. Bahwa ada seorang ustad yang baru tiba dari Surabaya untuk suatu keperluan. Pak Ustad kebetulan sudah dikenal lama oleh suami si tetangga di surabaya sebagai ”orang pintar”. ”Gratis, yang penting kita percaya. Hanya saja kita harus bersabar karena pak ustad itu gampang-gampang sulit,” ujar tetangga itu.

Stelah ditemui siangnya, malamnya Pak Ustad yang baru dua hari tiba dari Surabaya itu datang. ”Mungkin Anda semua diminta Tuhan untuk lebih banyak bersedekah kepada fakir miskin,” begitu nasihat pertama Pak Ustad setelah melihat kondisi kakak kami. Spontan kami seisi rumah mengiyakan tak keberatan.

Pak Ustad kemudian membenarkan, bahwa kakak kami ”dibikin” orang. Pengobatannya tak bisa ditunda, harus sekarang juga. Si ustad meminta kami untuk mengosongkan sebuah kamar yang lebih dekat dengan kamar tempat kakak kami berada. Ustad meminta beberapa sajadah untuk digelar. Di dalam kamar yang gelap dan hanya diterangi sebuah lilin Pak Ustad berzikir sendirian. Setelah hampir sejam Pak Ustad Keluar. ”Insya Allah, penyakit Ibu Marwiyah bisa terasa,” kata Pak Ustad membuat hati kami terasa lega.

Semenit kemudian, ketika kami masih dalam keheningan, tiba-tiba terdengar bunyi seperti perabot dapur dibanting dari dalam kamar tempat Pak Ustad berzikir tadi yang masih gelap itu. Pak Ustad kemudian membuka pintu kamar sambil mengucap salam, ”assalamu’alaikum”. Lampu kemudia dinyalakan lalu kami dipersilahkan melihat apa yang baru saja terjadi. Masya Allah..! di tengah kamar ada segunduk tanah merah yang masih basah dengan beberapa bekas telapak kaki yang mengarah ke jendela seukuran anak tiga tahun. Anehnya, hanya ada tiga jari pada telapak kaki itu. ”Pemilik telapak kaki ini adalah mahluk yang dikirim seseorang untuk membunuh salah satu dari suami istri di rumah ini. Dalam keadaan tertatih-tatih, kakak kami lalu disuruh sholat taubat dua rakaat. Setelah itu Pak Ustad membacakan sebuah ayat yang menerangkan azab dan siksa neraka bagi orang yang melakukan sihir dan tenung.

Pada malam berikutnya, Pak Ustad dapat mengambil segunduk tanah coklat kehitaman dan dua butir telur ayam dari samping rumah kami. Pak Ustad menjelaskan, tanah itu adalah tanah kuburan sedangkan dua telur itu di tanam bersamaan dengan tanah itu. Jika salah satunya pecah berarti salah satu nyawa dari kakak kami ada yang melayang. Kedua telur itu akhirnya dipecahkan sendiri oleh Pak Ustad.

Di malam ketiga, kami lebih tercengang lagi. Dari dalam kamar itu Pak Ustad dapat mengambil sebuah boneka yang terbuat dari anyaman daun lontar, kayu dan kain berukuran setengah meter. Boneka itu berlumuran tanah merah basah dengan posisi perut, kaki dan tangan agak ditekuk. ”Ini yang membuat perut, kaki dan tangn ibu sakit,” kata Pak Ustad. Kakak kami lalu disuruhnya melangkahi boneka dan gundukan tanah itu sampabil membaca ”innaa lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun.”

Sejak boneka itu diambil, kesehatan kakak kami mulai membaik. Dia tak lagi demam, perut dan persendiannya juga tak sakit lagi. Hanya saja badannya masih lemas dan tak bertenaga. Pak Ustad kemudia menyarankan agar kakak kami itu dibawa ke dokter. Dari dokter akhirnya bisa diketahui bahwa kakak kami itu menderita penyakit maag. Hanya itu saja yang perlu diobati. Selanjutnya, pikirannya perlu ditata kembali sehingga semangatnya timbul kembali.

Sehari sebelum Pak Ustad pulang ke Surabaya, dia sempatkan diri mengunjungi kami. Menurut Pak Ustad, sebenarnya dia bisa menunjukkan siapa orang yang ”membikin” kakak kami itu. Hanya saja, itu akan merusak silahturahmi kami. Pak Ustad hanya memberikan nasihat agar supaya terhindar dari segala kejahatan sihir, tenung dan sebagainya, kita harus meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. Perbanyak mengaji, sedekah dan sebagainya. Sebenarnya kami sudah sudah siapkan sedikit oleh-oleh untuk Pak Ustad dan keluarganya di Surabaya namun ia menolaknya. Malah kami dihadiahi sebuah buku yang diselipkan sebuah tulisan tangan Pak Ustad. Ia mengutip doa Imam Ali Zainal Abdin: ”Tuhan, aku tidak tahu, mana yang lebih aku syukuri, sakit atau kesehatan. Karena ketika aku sakit, aku berhenti berbuat nista dan aku jadi memiliki banyak waktu untuk berzikir kepad-Mu. Aku juga punya banyak waktu utuk bertafakur dan merenungkan kehidupan.”

Minggu, 09 November 2008

ADA MASJID BUTUH BATUAN

Di Pedalaman Timor Barat, pada sebuah masyarakat yang muslimnya minoritas, yang hidup dalam serba keterbatasan : ilmu, akses ekonomi dan informasi. Mereka sedang membangun sebuah masjid yang sudah berlangsung beberapa tahun. Sayang, keterbatasan dana membuat pembangunan masjid itu berjalan lamban. Padahal keinginan untuk beribadah dalam sebuah masjid yang nyaman dan layak bagitu menggebu-gebu.
Masjid yang sedang menunggu uluran tangan kita itu berada di Kampung OEMOFA. Untuk infoermasi lebih lanjut dapat menghubungi ustad Kahar Manu di Kupang. Nomornya : 0813 3934 1082

NAH, INI DIA..!!

Bagi yang ingin menambah lahan jihad dengan beristri lebih dariu satu, atau bagi yang ingin berbagi ilmu dan pengalaman beristri lebih dari satu, atau juga bagi yang ingin ngintip jodoh lagi, silahkan kunjungi : http://www.poligami indonesia. com/

Senin, 26 Mei 2008

Mataair di Airmata

Sumber: http://www.amanah.or.id/ Airmata, Sebuah Mata Air di Kupang

Laporan: Darso Ariel B

Bila ke Kupang, sempatkan diri bertandang ke sebuah wilayah bernama Airmata. Di sini, ada airmata untuk sebuah perjuangan mempertahankan identitas.

KUPANG. Jika "jalan-jalan" adalah tujuan anda berkunjung ke kota Kupang, mungkin laut memberikan kenikmatan yang bisa dibanggakan, kendati tidak semua nuansa laut bisa dinikmati, misalnya pasir putih atau hidangan khas laut. Mungkin karena orang di Kupang bukan penikmat ikan sehingga tidak ditemui promosi hidangan laut yang atraktif.

Pada beberapa tempat di kota ini sengaja dibangun tempat duduk-duduk seperti balkon yang menghadap ke laut. Di sini biasa orang menghabiskan waktu menunggu terbenam matahari. Sedangkan pantai Lasiana yang sering disebut sebagai lokasi wisata di Kupang, ternyata tidak terpelihara.

Malam di Kupang adalah sepi. Menjelang pukul lima sore orang sudah bergegas pulang ke rumah, karena pukul tujuh malam tak ada lagi angkutan kota yang beroperasi. Transportasi dalam kota mulai diambil alih tukang ojek. Masih beruntung tarifnya tidak terlalu mahal. Oebufu - Oesapa yang berjarak belasan kilo meter cukup dibayar lima ribu rupiah.

Tapi bagi Anda yang berpenyakit jantung tidak cocok tinggal di Kupang. Ini karena semua angkot di kota ini berciri yang sangat aneh: memutar musik keras-keras dengan volume bas tinggi.

Kupang sering disebut orang sebagai Kota Karang, Ini bukan perlambang apa-apa, tapi nyatanya demikian. Dari arah laut kota ini terlihat bertengger di atas batu karang yang besar, selain sebagian kota lainnya berada di atas bukit berbatu.

Mata Air Airmata

Dibanding wilayah Nusantara lainnya, Islam terbilang agak terlambat masuk ke wilayah ini, Karena itu tidak heran kalau umat Islam di kota ini terbilang minoritas. Meski demikian, bukan berarti di Kota Kupang sama sekali tidak ada obyek yang pantas untuk diziarahi.

Sebuah wilayah di tengah Kota Kupang bernama Airmata, bisa dipastikan menjadi titik sentral obyek ziarah di sini. Dari namanya, sudah bisa dipastikan kalau wilayah ini memiliki identitas Melayu dan berbeda dari seluruh nama wilayah di kota ini yang biasanya berawalan oe (air), seperti Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenlain, Oenesu dan masih banyak lagi oe-oe lainnya.

Bagi masyarakat Airmata, nama wilayah itu sendiri memiliki dua makna kebenaran. Pertama, dari wilayah inilah timbul mata air yang mengalir sungai jernih membelah Kota Kupang.

Makna kedua, di tempat inilah banyak airmata yang tumpari akibat kekejaman penjajah, Setidaknya ada tiga ulama yang ditangkap dan diasingkan Belanda hingga mereka wafat dan dimakamkan di sini, yakni Kiyai Arsyad asal Banten, Dipati Amir Bahrain asal Bangka dan Sultan Dompu asal Bsma. Makam para ulama itu terletak berdekatan dalam sebuah kompleks yang dikenal dengan nama Kuburan Batu Kadera,

Menurut cerita sesepuh Airmata, H. Imam Birando bin Taher, Kiyai Arsyad paling banyak berperan dalam pengembangan Islam di Kupang. Sebelum ditangkap dan diasingkan, Kiyai Arsyad memimpin perlawanan masyarakat Cilegon, Banten, terhadap Belanda (1926).

Masih menurut cerita H. Imam Birando, sebelum menetap di Airmata, Kiyai Arsyad mula-mula tinggal di Oeba, sebuah kawasan pantai di belahan utara Kupang. Di sini Kiyai Arsyad mendirikan masjid. Baru beberapa tahun, masjid itu digusur Belanda dengan dalih akan dijadikan kompleks perumahan pejabat.

Kiyai Arsyad dan pengikutnya kemudian bergeser ke arah selatan kota, tepatnya di Funtein sekarang. Di sini Kiyai Arsyad dan pengikutnya kembali mendirikan masjid. Sayangnya, Belanda kembali menggusur masjid dan komunitas Kiyai Arsyad dengan alasan akan mendirikan perkantoran. Kantor Bupati Kupang sekarang diyakini sebagai lokasi berdirinya masjid Kiyai Arsyad.

Setelah tergusur dari Funtein, Kiyai Arsyad beserta pengikutnya memindahkan komunitasnya ke arah selatan, yakni Airmata sekarang dan tidak lagi digusur karena Belanda terlanjur angkat kaki dari Nusantara.

Orang kedua yang berjasa dalam pengembangan Islam di Kupang, khususnya di Airmata adalah Sya'ban bin Sanga, tokoh asal Solor, Flores Timur. Untuk kepentingan masjid, Sya'ban mewakafkan sebidang tanah yang dimilikinya. Tanah wakaf Sya'ban ini oleh Kiyai Arsyad dibangun masjid yang kemudian diberi nama Baitul Qadim (rumah pertama).

Sya'ban bin Sanga pun mewakafkan anak-anaknya untuk kepentingan dakwah. Tiga puteranya, yakni Birando, Abdullah dan Bofid. Birando diwakafkan sebagai imam, Abdullah sebagai khatib dan Bofid sebagai muazzin. Tradisi mewakafkan diri pada masjid ini terus berlangsung hingga cucu-cucu Sya'ban. H. Imam Birando bin Taher yang masih memegang jabatan imam sekarang adalah cicit Sya'ban.

Mauludan yang Khas

Berziarah di Kupang jangan lewatkan masjid Al Fatah di wilayah Kampung Solor. Masjid yang dibangun pada awal Tahun 1900 ini masih mengabadikan mihrabnya yang sangat khas. Bila diamati, mihrab masjid ini menyimpan kemiripan dengan masjid para sultan di wilayah Nusantara lainnya. Sebuah bedug besar atau rekal (meja kecil tempat meletakkan Quran) yang ada di masjid ini seperti mengisyaratkan bahwa kebudayaan Islam di Kupang sudah cukup tua.

Sama seperti Airmata, Kampung Solor juga didiami oleh komunitas Muslim. Bedanya, komunitas Muslim di sini lebih didominasi oleh masyarakat asaf Solor, Flores Timur yang dalam sejarah juga disebutkan memiliki tradisi Islam setua Islam di Nusantara.

Mengunjungi kedua masjid ini akan lebih mengesankan bila bersamaan dengan , saat perayaan Maulid Nabi, 12 Rabiul Awal. Berbeda dengan daerah lain, perayaan Maulid Nabi di Kupang, terutama di kedua masjid ini memiliki tradisi yang sangat khas. Acara pokok mauludan adalah berzikir, yakni pembacaan kitab Barjanzi yang dilatunkan dengan irama tertentu serta diiringi oleh tabuhan rebana. Sepintas, seni berzikir ini hampir memiliki kesamaan dengan seni ruddat yang banyak dijumpai di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur.

Peringatan Maulid Nabi di sini juga ditandai dengan aneka hidangan yang dihiasi aneka warna. Ada nasi merah dan kuning, ada telur ayam rebus, juga pisang rebus yang juga diberi aneka warna dan dihidangkan dalam nampan bersama nasi tadi. Lebih khas lagi, ada kelapa muda diukir aneka macam yang ditancapi kembang-kembang plastik. Semua aneka makanan, kelapa dan bunga itu selepas waktu Isya diarak beramai-ramai menuju masjid dengan lantunan Salawat Badar. Prosesi ini sungguh mengharukan.

Darso Ariel B

SEBAGIAN TRIPANG ASAL ROTE