Minggu, 25 Mei 2008

Rote-sayang, Rote-ku Malang

Rote, Komunitas Muslim dan Australia

Gersang dan tandus. Itulah wajah Pulau Rote (Kabupaten Rote Ndao). Rote selama ini dianalogikan sebagai pulau terselatan dari Indonesia. Tentu saja itu benar jika dilihat dari perspektif atau kategori “pulau berpenghuni”. Sebenarnya pulau paling selatan adalah Pulau Dhana, pulau terluar dekat Rote, tetapi tidak berpenghuni berada di ujung paling selatan Indonesia.

Pulau Rote (hanya) seluas 1.214,3 kilometer persegi dan dihuni oleh 102.000 jiwa. Rote sesungguhnya terdiri dari 96 pulau, hanya enam yang berpenghuni sedangkan 90 dihuni oleh monyet dan rusa. Rote baru mendapat “gelar” sebagai kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002.

Sama seperti NTT pada umumnya, masalah utama Rote adalah indeks kemiskinan manusia yang tinggi mencapai 27,50 persen. Selain itu, 30,80 persen penduduk Rote juga menghadapi akses sarana kesehatan tak memadai dan balita kurang gizi mencapai 41,80 persen.

Secara administrasi Rote terdiri dari 6 Kecamatan, yakni Rote Barat Daya (17 desa), Rote Barat Laut (15 desa dan 1 kelurahan), Lobalain (11 desa dan 3 kelurahan), Rote Tengah (11 desa dan 1 kelurahan), Pantai Baru (10 desa dan 1 kelurahan), dan Rote Timur (9 desa dan 1 kelurahan).

Meski gersang, tandus dan miskin, pantai Rote amat bersih dan punya pesona kombinasi pecahan gulungan ombak yang istimewa. Tempat ini merupakan surga tropis yang tak pernah tersentuh dan “tercemar” oleh turisme. Ada tiga pantai di Rote yang terbaik untuk surfing (selancar). Sebuah situs selancar memuji lokasi surfing di Rote itu yang sudah dikenal peselancar kelas dunia. Wisatawan asal Australia yang paling banyak menikmati surfing di pantai ini.

Dari Kupang, Rote hanya bisa dicapai dengan angkutan laut. Lalu lintas barang dan jasa umumnya mengandalkan kapal penyeberangan (feri) yang setiap hari melayani rute Kupang-Rote (di Kec. Pantai Baru) sekitar empat jam. Rute lain ditempuh dengan perahu motor, dari pelabuhan rakyat (Pelra), seperti Papela (Kec. Rote Timur), Oelaba (Kec. Rote Barat Laut), Batutua (Kec. Rote Barat Daya), dan Ndao (Pulau Ndao).

Ibu Kota Kabupaten Rote Ndao adalah Ba’a. Kota ini tak lebih dari kota kecamatan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan daerah lain di Indonesia. Sampai di Ba’a, ketika mengayunkan kaki meninggalkan dermaga, debu beterbangan di sepanjang jalan yang rusak atau bopeng di banyak tempat.

Deretan belasan kios dan beberapa toko penjual barang pokok, empat warung makan, dan beberapa kantor menghiasi pusat keramaian di Jalan Pabean. Jalan ini sempit mirip lorong pasar senggol di Jawa, becek saat hujan, dan mulai sepi sejak pukul lima sore.

Kios dan warung makan tutup antara pukul 18.30-19.00. Bahkan jika ada warung makan yang buka hingga pukul 19.00, hampir pasti tidak ada makanan lagi. Hanya ada dua hotel melati di sini, tetapi kamarnya jadi sarang nyamuk. Meski sejak lima tahun lalu telah jadi ibu kota Kabupaten, Ba’a masih lebih tepat disebut kampung yang sedang mekar.

Listrik yang baru melayani 4.378 pelangan atau 17% dari populasi penduduk Rote dan lebih sering padam dari menyala. Telepon rumah tentu lebih sedikit lagi, tak lebih dari 300 rumah dan kantor pemerintahan, itupun hanya di Ba’a dan sedikit di kecamatan Rote Barat Laut. Ada kantor telekomunikasi di sini, tetapi tidak berfungsi maksimal. Ada satu warung telekomunikasi dan beberapa kios telepon untuk percakapan lokal dan interlokal. Wartel tidak menyediakan mesin faksimile, dan biasanya tutup pukul 20.00.

Telkomsel sudah beroperasi di Ba’a. Bahkan sudah dibangun stasiun penerima-pemancar di Papela dan Nemberala, pantai yang paling dikenal sebagai “surga” bagi para peselancar dunia itu.

Sarana dan prasarana dasar, seperti air, listrik, jalan raya, dan telepon, masih sangat minim dan jauh dari sentuhan pesatnya teknologi. Krisis air adalah cerita biasa jika kemarau tiba. Jika sudah kemarau, tidak ada pertolongan untuk masyarakat, mereka harus bersusah payah menempuh perjalanan satu hingga dua kilometer untuk mendapatkan air di sumur-sumur tua peninggalan Belanda. Persoalan air ini memang terjadi sejak zaman dahulu kala, susahnya bukan main. Berkali-kali masyarakat minta melalui kecamatan, juga ke kabupaten, agar kami dibantu dengan sumur bor, tetapi tidak pernah terjawab.

Selain air bersih, kesulitan terberat bagi warga Rote adalah jalan raya dan pengangkut umum. Warga di desa-desa tetap berjalan kaki sejauh lima hingga belasan kilometer menuju pasar di kecamatan yang biasanya ada sekali dalam sepekan. Saat hari pasar inilah, angkutan umum biasanya ada. Setiap hari memang ada angkutan umum, namun itupun hanya dari pelabuhan feri ke kota kecamatan, itupun tak lebih dari dua angkutan untuk masing-masing kecamatan.

Sumber pendapatan asli daerah hanya sekitar Rp 1,4 miliar per tahun, sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 berkisar Rp 130 miliar. Sangat fantasti perbandinganya.

Dari 102.000 jiwa penduduk Rote, Umat Islam (hanya) berjumlah 3.351 jiwa. Konsentrasi terbesar muslim, yakni lebih dari 2000 jiwa berada di Papela, Kec. Rote Timur. Muslim di Rote membentuk komunitas tersendiri menjadi perkampungan nelayan, yakni di Metina (Ba’a/Kec. Lobalain), Oeseli dan Batutua (Kec. Rote Barat Daya), Oelaba (Kec. Rote Barat Laut), Oenggae (Kec. Pantai Baru) dan Papela (Kec. Rote Timur). Masjid dan musholla yang dimiliki Muslim di sini hanya sembilan buah. Di Papela ada sebuah masjid jami dan sebuah masjid ghoir jami, di Pantai Baru ada sebuah musholla, di Oenggae ada sebuah masjid jami, di Metina ada sebuah masjid jami, di Ba’a, Oelaba dan Batutua masing-masing ada sebuah masjid jami dan Oeseli ada sebuah musholla.

Tiap-tiap masjid atau musholla memiliki seorag Imam yang dipilih sekali dalam lima tahun secara demokratis. Imam berfungsi sebagaimana layaknya ketua DKM di daerah lain, dia juga menjadi pemimpin nonformal dalam kampung. Imam juga sering menjadi “tempat pengadilan” ketika terjadi perselisihan antar ummat. Imam dibantu oleh beberapa staf yang bertanggungjawab pada dinamisasi masjid dan segala kegiatan keumatan dalam kampung.

Di Papela ada sebuah TK Islam yang baru dirintis. Di sini pernah dibangun sebuah madrasah namun terbengkelai karena kekurangan sarana pengelola. Di Ba’a ada sebuah TK Islam yang sudah berjalan cukup lama. Sedangkan di Oelaba ada sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang cukup “jalan di tempat”.

Ormas Islam belum ada satupun yang menyentuh muslim di Rote, demikian pula organisasi Islam lokal belum pernah berdiri di sini. Sejak dahulu partai PPP cukup mendapat dukungan, tapi belakangan PKB justru mampu membawa seorang wakilnya dukuk di DPRD kabupaten. Sejak dahulu baru tiga orang muslim yang bisa menduduki jabatan paling “bergengsi” yakni menjadi anggota DPR kabupaten. Seorang pada masa Ordebaru dari Golkar dan dua orang pada dua periode di masa Reformasi dari PKB

Hampir semua Muslim di Rote adalah pelaut. Sebagian lainnya adalah pedagang dan beberapa puluh diantaranya menjadi PNS (guru, pegawai kecamatan dan di kabupaten, rumah sakit, puskesmas) atau TNI/Polri.

Berbicara tentang Muslim di Pulau Rote adalah berbicara soal nelayan (baca : pelaut). Keuletan nelayan Rote, khususnya dari Papela dan Oelaba, sejak dahulu sudah menembus Laut Timor hingga perairan Australia. Aksi nekat para nelayan ini kerap memperkeruh hubungan Australia-Indonesia.

Antara AL Autralia dan nelayan Rote bagai kucing dan tikus. Oleh pihak otoritas Australia, para nelayan Muslim Rote ditangkap, disekap, perahunya dimusnahkan dan dipenjarakan di Darwin. Tragedi ini merupakan pengalaman kolektif sekaligus berita sehari-hari nelayan Rote.

Sejak dahulu, nelayan Rote memandang perairan antara Rote-Australia adalah sumber kehidupan. Antara Rote dan Australia banyak sekali pulau kecil. Nama pulau-pulau itu oleh nelayan disebut, seperti Pulau Pasir, Borselan, Dato, Bawa Angin, Matsohor, Matahari Menjerit, dan Pulau Tengah. Dalam peta, yang disebut Pulau Pasir tak lain adalah Ashmore Reef, yang terdiri dari tiga pulau karang. Juga tidak ada nama Borselan, tetapi disebut demikian karena nelayannya diduga sulit melafalkan nama Browse Island.

Di gugus Pulau Pasir, seperti Pulau Tengah (Midle Island), terdapat kuburan orang Madura di tepi selatan pulau, berukuran lebar 0,95 meter dan panjang 1,85 meter. Diperkirakan itu adalah kuburan nelayan dari Pulau Tonduk, Madura. Sementara Kapten Ashmore dari Inggris menemukan pulau ini pada tahun 1816, yang kemudian resmi dibakukan sepihak oleh Inggris pada tahun 1870.

Dari Rote, Pulau Pasir dapat dicapai dalam waktu 8-9 jam dengan menggunakan perahu layar atau 3-4 jam dengan perahu motor Pulau Pasir dan sekitarnya terkenal kaya akan teripang, lola, dan berbagai jenis ikan, terutama hiu untuk diambil sirip dan ekornya. Oleh karena itu, kawasan ini tak hanya jadi lahan pencarian nelayan Rote, tetapi juga dari daerah lain Indonesia, seperti Jawa Timur dan Sulawesi.

Nelayan Muslim Rote, terutama di Papela dan Oelaba, memang hidup dari hasil-hasil laut di perairan ini. Bahkan, pendapatan Kabupaten Rote sebagian besar diperoleh dari hasil tangkap nelayan itu. Setiap kali nelayan pulang melaut dan membawa hasil tangkapan, mereka dikenai retribusi. Sirip ikan hiu kecil dikenai retribusi Rp 10.000 per kilogram, yang besar bisa Rp 25.000 per kg. Sedangkan harga jual sirip ikan hiu itu berkisar Rp 250.000-Rp 1.300.000 per kg. Selain sebagai sumber penghidupan, laut di perairan itu juga menjadi kuburan massal nelayan Rote. Setiap tahun laut itu pasti menelan nelayan Rote. Ratusan orang sudah terkubur di sana.

Pemerintah Indonesia dan Australian sudah berulang kali mencari jalan keluar agar nelayan Rote tidak lagi berlayar ke sana, namun usaha itu tetap sia-sia. Belakangan pemerintah mengembangkan budidaya rumput laut. Sayangnya usaha ini kurang berkembang. Karena tidak didukung oleh regulasi yang memadai, pemerintah juga tidak menyediakan pasar yang bagus.[]

1 Komentar:

Pada 30 November 2009 pukul 07.24 , Blogger Wilson M.A. Therik mengatakan...

Berkunjunglah ke Rote saat sekarang, sudah jauh berbeda dari apa yang anda tulis tentang Rote

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda